Jarum jam terus berputar, mengitari jiwa yang amat kacau. Jiwa yang
dilanda rasa sesak di dada. Sejenak, kupandangi langit-langit kamar yang
dihiasi dengan suasana kegelisahan. Entah mengapa, hujan di luar sana membuat
hatiku gundah. Kegundahan ini menyelinap dalam sanubari.
“Ups,” tiba-tiba setetes darah mimisan keluar dari hidungku, terjatuh bersama hujan yang masih betah dengan kederasannya. Mimisan ini bukan yang pertama kali bagiku. Sudah sejak lama aku bersahabat dengan penyakit ini. Aku tak pernah merasakan sakit saat mimisan itu datang, tetapi kebahagiaan yang selalu kurasakan. Ya, bahagia karena Tuhan masih memberiku darah, sepeti Ia memberikanku kekuatan lebih banyak untuk hidup. Tetesan itu hanya peringatan bagiku agar aku harus lebih berhati-hati, dan harus lebih bersyukur atas keadaanku saat ini.
“Ups,” tiba-tiba setetes darah mimisan keluar dari hidungku, terjatuh bersama hujan yang masih betah dengan kederasannya. Mimisan ini bukan yang pertama kali bagiku. Sudah sejak lama aku bersahabat dengan penyakit ini. Aku tak pernah merasakan sakit saat mimisan itu datang, tetapi kebahagiaan yang selalu kurasakan. Ya, bahagia karena Tuhan masih memberiku darah, sepeti Ia memberikanku kekuatan lebih banyak untuk hidup. Tetesan itu hanya peringatan bagiku agar aku harus lebih berhati-hati, dan harus lebih bersyukur atas keadaanku saat ini.
“Eh
Ren, kamu mimisan lagi tuh!” ucap Zia dengan penuh kepanikan, dia raih
sebungkus tissue dan kemudian memberikannya kepadaku. Kebetulan, pada saat itu
dia sedang mampir ke rumahku untuk sekadar melihat keadaanku. Sudah beberapa
hari ini, aku harus memberhentikan berbagai kegiatan, salah satunya bersekolah.
“Kamu belum juga sembuh?” tanya Zia.
“Emm, aku juga belum tahu, Zi. Dokter bilang, aku cuma kurang makan sayur.”
“Biar nggak mimisan terus, kamu harus banyak makan sayur ya!” kata Zia sambil tersenyum kecil. Terlihat jelas lesung pipinya yang indah. Membuat keharuan datang melahap perasaan secara perlahan.
“Kamu belum juga sembuh?” tanya Zia.
“Emm, aku juga belum tahu, Zi. Dokter bilang, aku cuma kurang makan sayur.”
“Biar nggak mimisan terus, kamu harus banyak makan sayur ya!” kata Zia sambil tersenyum kecil. Terlihat jelas lesung pipinya yang indah. Membuat keharuan datang melahap perasaan secara perlahan.
Tidak
sedikit yang pernah berkata, bahwa aku mungkin hanyalah anak yang lemah. Namun,
di balik kelemahanku itu, aku selalu menyimpan kekuatan cinta. Cinta kepada
Tuhan, ayah, ibu, dan semua orang yang dapat membuatku tersenyum, bahkan
tertawa bahagia.
“Zi, kenapa cobaan Tuhan itu seperti hujan di luar sana?” tanyaku sambil menunjuk ke arah luar jendela. “Datang secara tiba-tiba, kadang besar dan kadang kecil, datangnya nggak pernah satu-satu. Bahkan, kedatangannya juga kadang membuat risau,” terusku.
“Haha, Rena, Rena, kamu sering melihat pelangi kan? Pelangi yang menyimpan banyak warna, dengan penuh ketenangan di sana. Kamu akan melihatnya setelah kita merasakan rintik bahkan derasnya hujan. Itulah kebahagiaan, datang setelah kita melewati cobaan kecil ataupun yang besar,” jawab Zia dengan penuh harapan. Meyakinkan agar aku dapat terus kuat.
“Tapi, pelangi itu cuma muncul di saat tertentu aja, dan nggak selalu datang setelah hujan,” aku pun tak ingin kalah, berusah mencari makna dari semua ini. Rasanya sudah sangat penat, kehabisan asa.
“Kebahagiaan juga gitu kok, nggak selalu datang setelah kita menghadapi cobaan. Tapi, pasti akan datang di saat kita udah berhasil melewatinya dengan penuh keikhlasan, ketulusan, dan ketegaran. Walaupun pelangi terlihat setelah hujan yang kadang disertai angin, tapi nggak ada yang bisa menutupi keindahannya. Begitu juga kebahagiaan, baru bisa dirasakan setelah adanya cobaan yang kadang disertai tanggapan-tanggapan kurang baik dari orang lain pada kita. Namun akhirnya, nggak ada yang bisa menggantikan rasa bahagia seseorang,” jelas Zia panjang lebar. Dia tetap bertekad menyakinkanku terus menerus.
“Terus, apa peran matahari kalau dikaitkan dengan cobaan?”
“Anggap aja matahari itu orang-orang yang selalu mendukung kita. Matahari itu ada bersamaan dengan hujan, sehingga bisa terlihat pelangi. Nah, orang-orang itulah yang selalu ada di samping kita, walaupun dalam keadaan separah apapun, mereka akan memotivasi biar kita bisa melewati cobaan itu,” terlihat dari raut wajahnya, Zia mulai kesal dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan anehku. Kini, tidak ada satu pun kata bahkan kalimat yang bisa kuungkapkan. Aku hanya tunduk dan terdiam mendengarkan penjelasannya itu.
“Sekarang, apa lagi yang masih kurang jelas? Hahaha,” Zia tertawa bangga, dia berhasil membuatku yakin akan apa yang sedang kuhadapi.
“Hahahaha, semuanya udah jelas kok, Zi. Selamat, kamu berhasil meyakinkanku,” kami tertawa bersama. Melewati hujan yang tak lama kemudian mereda. Aku terpaku melihat ada seberkas cahaya merasuk dalam matanya. Cahaya berwarna-warni, indah, membuatku tersadar bahwa terselip pelangi kebahagiaan itu di dalam bola matanya. Bola mata seorang sahabat tercinta. Dia yang membuatku dapat terus bertahan hingga saat ini. Di saat dunia tidak meninggalkanku lagi. Tanpanya, aku tak pernah mengerti apa arti hidup ini. Apa yang sebenarnya Tuhan beri bagiku. Entah itu cobaan, ataupun kebahagiaan, kini aku mengerti.
Seandainya Tuhan berkehendak untuk memberiku pelangi dengan ketujuh warna-nya, akan kuberikan dua warna untuknya. Satu warna kan kuberikan sebagai ucapan terima kasih, dan satu warna lagi sebagai tanda bahwa kekuatan kasih sayangnya, tidak akan pudar. Tak akan terkikis oleh lorong waktu yang amat panjang dan mungkin akan sangat melelahkan.
“Zi, kenapa cobaan Tuhan itu seperti hujan di luar sana?” tanyaku sambil menunjuk ke arah luar jendela. “Datang secara tiba-tiba, kadang besar dan kadang kecil, datangnya nggak pernah satu-satu. Bahkan, kedatangannya juga kadang membuat risau,” terusku.
“Haha, Rena, Rena, kamu sering melihat pelangi kan? Pelangi yang menyimpan banyak warna, dengan penuh ketenangan di sana. Kamu akan melihatnya setelah kita merasakan rintik bahkan derasnya hujan. Itulah kebahagiaan, datang setelah kita melewati cobaan kecil ataupun yang besar,” jawab Zia dengan penuh harapan. Meyakinkan agar aku dapat terus kuat.
“Tapi, pelangi itu cuma muncul di saat tertentu aja, dan nggak selalu datang setelah hujan,” aku pun tak ingin kalah, berusah mencari makna dari semua ini. Rasanya sudah sangat penat, kehabisan asa.
“Kebahagiaan juga gitu kok, nggak selalu datang setelah kita menghadapi cobaan. Tapi, pasti akan datang di saat kita udah berhasil melewatinya dengan penuh keikhlasan, ketulusan, dan ketegaran. Walaupun pelangi terlihat setelah hujan yang kadang disertai angin, tapi nggak ada yang bisa menutupi keindahannya. Begitu juga kebahagiaan, baru bisa dirasakan setelah adanya cobaan yang kadang disertai tanggapan-tanggapan kurang baik dari orang lain pada kita. Namun akhirnya, nggak ada yang bisa menggantikan rasa bahagia seseorang,” jelas Zia panjang lebar. Dia tetap bertekad menyakinkanku terus menerus.
“Terus, apa peran matahari kalau dikaitkan dengan cobaan?”
“Anggap aja matahari itu orang-orang yang selalu mendukung kita. Matahari itu ada bersamaan dengan hujan, sehingga bisa terlihat pelangi. Nah, orang-orang itulah yang selalu ada di samping kita, walaupun dalam keadaan separah apapun, mereka akan memotivasi biar kita bisa melewati cobaan itu,” terlihat dari raut wajahnya, Zia mulai kesal dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan anehku. Kini, tidak ada satu pun kata bahkan kalimat yang bisa kuungkapkan. Aku hanya tunduk dan terdiam mendengarkan penjelasannya itu.
“Sekarang, apa lagi yang masih kurang jelas? Hahaha,” Zia tertawa bangga, dia berhasil membuatku yakin akan apa yang sedang kuhadapi.
“Hahahaha, semuanya udah jelas kok, Zi. Selamat, kamu berhasil meyakinkanku,” kami tertawa bersama. Melewati hujan yang tak lama kemudian mereda. Aku terpaku melihat ada seberkas cahaya merasuk dalam matanya. Cahaya berwarna-warni, indah, membuatku tersadar bahwa terselip pelangi kebahagiaan itu di dalam bola matanya. Bola mata seorang sahabat tercinta. Dia yang membuatku dapat terus bertahan hingga saat ini. Di saat dunia tidak meninggalkanku lagi. Tanpanya, aku tak pernah mengerti apa arti hidup ini. Apa yang sebenarnya Tuhan beri bagiku. Entah itu cobaan, ataupun kebahagiaan, kini aku mengerti.
Seandainya Tuhan berkehendak untuk memberiku pelangi dengan ketujuh warna-nya, akan kuberikan dua warna untuknya. Satu warna kan kuberikan sebagai ucapan terima kasih, dan satu warna lagi sebagai tanda bahwa kekuatan kasih sayangnya, tidak akan pudar. Tak akan terkikis oleh lorong waktu yang amat panjang dan mungkin akan sangat melelahkan.
|||
0 komentar:
Posting Komentar